Selasa, 12 Januari 2016

Dua Dara Satu Hati

Hantaran aroma tanah yang menggempul karena curahan air hujan dan bunyi gemericik air ditambah dengan kicauan burung bersahutan serta hembusan angin yang semilir menambah indahnya suasana pagi ini ...

Kriiinggg ... kringgg ... !!! alarm di kamar berdegup kencang, membuat suasana hening di kamar terasa sangat gaduh, tidak terasa dinginnya malam akan berganti menjadi pagi yang hangat. Pagi itu sekitar pukul 05.00 wib ada dua orang kakak beradik sedang mengelilingi sekitar komplek untuk lari pagi. Angin sepoi-sepoi dan nampak tersamar kabut asap membuat  suasana pagi itu terasa segar. Seperti biasanya seminggu dua kali mereka melakukan kegiatan ini  karena udaranya masih segar. Dua anak itu bernama Zazkia Azahra Putri (kakak) dan Ferlita Ferarezka Putri (adik) usia mereka hanya berbeda satu tahun. Ayahnya bekerja di Kedutaan Inggris, Jakarta Pusat sedangkan Ibunya bekerja sebagai Pengacara di Jakarta Barat. Mereka bersekolah di SMA Tunas Bangsa, Jakarta Barat.
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 07.00 mereka harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, seperti biasanya mereka selalu diantar oleh papah ke sekolah.
“Pah, ayo berangkat nanti kita terlambat.” Ajak Zahra sambil memakai sepatu.
 “Iya tunggu sebentar ya kak, papa mau sarapan dulu.” Jawab papa dengan lembut
 “Iya udah buruan ya pah, aku tunggu di mobil ya.“ sambil menunggu papa
sarapan  Zahra langsung menarik tangan Lita untuk berpamitan sama mama.
“Mah kita berangkat dulu ya.” ujar Lita sambil mencium mama.
“Iya sayang hati–hati di jalan dan belajar yang benar ya.“ jawab mama.
“Ayo sayang kita berangkat !“ ajak papa.
“Oke pah, dada mama.” jawab Zahra dan Lita sambil melambaikan tangan.
Sesampainya di sekolah mereka bertemu dengan Vai di lapangan basket.
“Hey, kalian berduan ajah.” tanya Vai
“Lah, emangnya mau sama siapa lagi, biasanya kita juga kalo berangkat selalu berdua
kok.” jawab Zahra dengan bingungnya.
“Tau nih Vai kaya gak pernah tau aja.” jelas Lita
“Kirain gitu Lita bareng Fauzi, hhhaaa ...“ jawab Vai sambil meledek.
“Aaaahhhhh, nyebelin pagi-pagi udah bercanda ajah.” jawab Lita kesal lalu
meninggalkan Vai.
“Huffftt... (sambil menarik nafas panjang) yah gua kok ditinggal si?” teriak Vai.
Mereka langsung menuju ke ruangan kelas masing-masing untuk mengikuti pelajaran. Saat bel istirahat berbunyi dengan lantangnya, seperti biasanya mereka berkumpul dan bercanda dengan Fauzi, Vai dan Dayla. Mereka berlima memang bersahabat sejak kecil. Saat sedang asik berbicara tiba-tiba mereka dikhawatirkan dengan keadaan Lita, mereka bingung belakangan ini Lita sering mimisan, pingsan dan sering bergemetar.
             “Dek, kenapa hidung kamu kok berdarah ?” tanya Zahra dengan rasa kaget.
“Hah... berdarah, mimisan maksud kakak.“ jawab Lita sambil mengelap hidungnya
dengan tisu yang digenggamnya.
“Iya, ya udah kita ke UKS yuk !“ ajak Fauzi sambil membantu Lita berdiri.
sesampainya di UKS Vai berkata.
“Iya udah kamu istirahat aja dulu di sini sampai jam pulang sekolah nanti kita semua
ke sini lagi.” sambil membuatkan teh Zahra berkata.
“Iya dek kamu istirahat aja dulu, oh ya ni diminum dulu tehnya.”
“Eh, Lit kita ke kelas dulu iya, udah bel tuh.” Ujar Dayla.
“Iya gak papa kok, maaf iya udah ngerepotin kalian.” Jawab Zahra dengan penuh
perasaan yang tak enak pada teman-temannya karena telah merepotkan mereka
semua.
Sepulang dari sekolah Lita langsung menuju halaman belakang, sambil menikmati segelas jus jeruk buatan bi Ijah, ia pun duduk di pinggiran kolam sambil memberi makan ikan, suara ikan yang bergerak kian kemari dan suara pancuran air membuat pikirannya sedikit tenang, sedikit terlintas dibenaknnya ‘kenapa iya belakangan ini aku ngerasa ada hal aneh dariku, aku sering mimisan dan pingsan.’ Tiba-tiba mama datang memecahkan lamunanku dan menanyakan keadaan Lita lalu mengajaknya untuk memeriksakan diri ke dokter. Sesampainya di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta Selatan, Lita langsung melakukan pemeriksaan di laboratorium untuk mengetahui penyakit apa yang dideritanya.
            “Dok, bagaimana hasil tes labolatoriumnya?” tanya mama dengan suara cemas.
“Heeempphhh... berdasarkan hasil tes laboratoriumnya anak ibu positive terkena
penyakit kanker darah stadium 2.“ jawab  dokter dengan perasaan tidak enak.
“Haaah gak mungkin dok, dokter bercandakan atau dokter pasti bohong. Iya kan?“
jawab Lita kaget dengan perasaan tidak percaya.
“Gak mungkin saya berbohong untuk hal sepenting ini anak manis. Maaf, tapi ini
adalah kenyataan yang sesungguhnya. Mungkin ini memang berat tapi kita masih bisa berusaha melakukan yang terbaik.” jawab dokter sambil memberikan hasil tes laboratarium dan meninggalkan mereka berdua.
Sesampainya di rumah, ia meminta mamanya untuk tidak memberitahu semua ini ke kak Zahra dan sahabatnya tentang penyakitnya, Saat itu Lita langsung berlari menuju sudut rumah untuk memainkan sebuah alat musik piano dengan alunan suara piano yang merdu membuatnya tak sadarkan diri, tidak terasa ia mengeluarkan bulir air mata dari sudut matanya.
Keesokaan harinya ketika Zahra dan Lita sedang berjalan menuju ke kantin, tiba-tiba Vai memanggilnya dan menghampiri mereka.
“Zahrraa... Litaaa, tunggu !” teriak Vai dengan suara lantang.
“Ada apa vai buru – buru banget ?” tanya Zahra heran.
“Hhee... ohya tadi aku ketemu bu Henny katanya seluruh pengurus osis disuruh
kumpul di ruangan osis.” Jawab Vai.
“Emangnya kapan Vai?“ tanya Lita.
“Emmphh nanti pas jam pulang sekolah.” Jelas Vai.
 “Oohhh, oke Vai nanti kita datang.” Jawab Lita.
Bel pulang sekolah berbunyi (treeeng ... treeenng...), Zahra langsung menuju kelas Lita untuk mengajaknya ke ruangan osis, tidak lama kemudian bu Henny datang dan memberikan informasi.
“anak-anak ibu mau memberitahukan kalo semua anak osis diwajibkan mengikuti kegiatan arung jeram di daerah Bogor. Ibu sudah meminta izin kepada kepala sekolah untuk menyutujui kegiatan osis ini. Kegiatan ini untuk melatih kekompakan satu sama lain jadi ibu harap keikutsertaannya” ujar bu Henny.
“horreee... emangnya kapan bu acaranya?” tanya anak osis dengan perasaan gembira.
“insaallah acaranya dilaksanakan minggu depan, jam 07.00 harus sudah sampai sekolah” jawab bu Henny, ia pun langsung meninggalkan ruangan osis.
Setelah bu Henny keluar pandangan Fauzi mengarah ke Lita.
“ehh lit kamu kenapa?“ tanya Fauzi.
“tau nih bukanya seneng mau jalan-jalan malah cemberut, bukannya kamu seneng banget ya sama kegiatan kaya gini.“ tanya Dayla dengan  bingung.
           “hhha takut gak boleh ikut ya sama mama tenang aja nanti aku bilangin.” ejek Fauzi.
Dalam hati Lita sebenarnya bukan itu yang dipikirkannya,  bukan takut tidak diizinkan sama mama, tapi takut dia tidak kuat mengikuti kegiatan itu, karena kondisinya sudah mulai lemah.
Sepulang dari sekolah sahabat mereka yaitu Fauzi,Vai dan Dayla main ke rumah Zahra dan Lita sekaligus minta izin ke orangtuanya supaya mereka dibolehkan mengikuti kegiatan osis. Mereka berkumpul di ruang tamu bersama.
            “Tante di sekolah aku ada kegiatan untuk anak osis yaitu arung jeram di daerah Bogor, Zahra sama Lita boleh ikut gak tante.“ tanya Fauzi dengan lembut
“Kalau Zahra si boleh, tapi kalo Lita tante gak izinin karena tante takut kondisi dia memburuk.” jawab mama dengan perasaan takut.
“Yah tante gak mungkin Lita gak kuat, dia pasti kuat, dia kan suka banget kegiatan yang menguji aderenalin hhee, lagi pula kalo gak ada dia gak rame tante.” jawab Vai dengan memohon
“Emphhh ... iyaudah seterah Lita, tante gak maksa” jawab mama.
“Iya udah aku ikut kegiatan itu deh.” jawab Lita dengan tersenyum.

            Sehari sebelum kegiatan itu dimulai, saat sedang menyiapkan peralatan untuk arung jeram, Lita mulai ragu untuk mengikuti kegiatan osis tersebut, karena Lita takut fisiknya gak kuat dan nantinya malah merepotkan teman-temannya,  tapi ia merasa tidak enak dengan teman-temannya karena sudah terlanjur janji. Keesokan harinya Zahra dan Lita datang ke sekolah lalu menuju halaman sekolah untuk mendengarkan arahan dari pembina. Sesampai di tempat tujuan mereka langsung membuat kelompok untuk mendaki gunung, seperti biasa kelompok mereka yaitu Zahra, Lita, Fauzi, Vai dan Dayla. Baru sebentar perjalanan entah kenapa Lita terlihat sangat lelah sekali, sedangkan Zahra dan ketiga temannya masih bersemangat, karena Lita sudah sangat lelah akhirnya kami pun beristirahat sejenak sambil menikmati bekal yang mereka bawa, mereka pun mengeluarkan beberapa makanan dari ransel mereka. Zahra dan yang lainnya memaklumi keadaan Lita tapi satu sisi ia bingung. Cewe tomboy yang selalu ceria dan bersemangat dalam menghadapi medan perjalanan yang sesulit apapun tiba-tiba lemas tak berdaya.
“Dek, kamu kenapa sih kok lemes banget.” tanya Zahra cemas.
Lita hanya menggelengkan kepala dan mengeluarkan beberapa obat
“Iya kamu kenapa sih, tidak seperti biasanya yang selalu  ceria.” ujar Dayla 
“Eh, obat kamu banyak banget lit, kamu sakit apa emangnya, wajah kamu pucat banget belakangan tuh.” tanya Fauzi.
“Ooohh obat... itu obat penghilang rasa pusing kok. Aku cuma gak enak badan ajah.” jawab Lita. Sebenarnya aku terpaksa ikut kegiatan ini, andai ajah kalian semua tau apa aku rasakan saat ini dan apa penyakitku saat ini.
“Aaahh, bohong! gak mungkin kamu gak kenapa–kenapa, Kamu cerita dong siapa tau ada yang bisa kita bantu.” cetus Vai dengan rasa tidak percaya.
Tidak ada jawaban dari Lita sedikitpun, akhirnya mereka pun bergegas untuk melanjutkan perjalanan untuk melihat air terjun dan berwisata arung jeram. Untuk sampai ke air terjun mereka harus melewati 700 anak tangga. Sesampai di sana mereka menyempatkan untuk berfoto-foto, tetapi tidak ada ekspresi dari wajah Lita sedikitpun.
Sepulang dari arung jeram Lita terlihat sangat lelah, ia pun langsung menuju ke kamar,  disetiap malam ketika ia ingin terlelap ia selalu duduk dekat jendela kamar sambil memandang seribu bintang yang bertaburan di angkasa dengan indahnya, dalam hati ia berkata. ‘Tuhan aku ingin hidup lebih lama lagi, berikan  aku kesempatan’. Lita selalu membayangkan tentang penyakitnya  yang semakin lama menjalar keseluruh tubuh, ia sudah tidak tahan menahan semua rasa sakit ini sendirian. Zahra bingung belakangan ini Lita selalu menangis dan menyendiri seperti ada yang disembunyikan dari dia, karena setiap kali ditanya ada masalah apa, jawabnya selalu tidak enak badan dan kecapean. Mama pun tidak pernah memberitahu Zahra tentang keadaan Lita. Saat sedang melewati kamar Lita, tidak sengaja Zahra melihat Lita menangis.
“Dek kenapa kamu menangis?“ pertanyaan Zahra membuyarkan lamunanku.
Lita pun langsung bercerita tentang apa yang dirasakannya.
”Maaf kak, kalau selama ini aku menyembunyikan sesuatu, sebenarnya aku punya penyakit Kanker Darah stadium 2.” Jelas Lita seraya memeluk Zahra.
“Astagfirulloh kenapa kamu tidak pernah cerita sama kakak, mama juga tidak pernah memberitahu kakak tentang semua ini.” Jawab Zahra kaget
“Aku takut kalo aku bilang sama kakak nanti kakak malah khawatir, aku gak mau ngerepotin kakak, aku gak mau semua orang kasihan sama aku karena penyakitku ini. Kak aku udah gak kuat lagi membayangkan penyakit yang telah menggerogoti tubuhku ini, sisa umurku tinggal sedikit lagi aku hanya bisa pasrah dengan penyakitku ini dan aku harus bersiap-siap menghadapi kematian.”
Zahra pun terdiam mendengar semua itu. Kasihan Lita wajahnya tampak pucat, bibirnya   kering, rambutnya mulai rontok dan tubuhnya terlihat kurus dan menggigil, ini semua membuat dia berputus asa dalam menghadapi penyakitnya, masa remaja dia tidak seindah teman-teman sebayanya yang dapat merasakan kebahagiaan bersama teman-teman, bercanda, berkumpul.

           Keesokan harinya orangtua mereka pun membawa Lita ke Rumah Sakit Pertamina di daerah Jakarta Selatan. Orangtua mereka dan dokter telah berusaha untuk penyembuhan penyakit Lita. Kasihan Lita dia harus mengikuti pengobatan kemoterapi untuk menghilangkan rasa sakitnya, tetapi dengan kemoterapi pun belum cukup untuk fase peenyembuhannya. Zahra mengusulkan untuk membawa Lita berobat keluar negeri, karena Lita mengetahui hal tersebut ia pun menolak usulan kakaknya untuk membawanya berobat keluar negeri karena semua itu percuma karena penyakitnya ini sudah sangat parah.
Mama selalu menenangkan dan memberikan semangat kepada Lita supaya dapat menerima kenyataan ini karena selalu ada jalan dalam setiap hidup dan selalu ada peran yang harus kita jalani dalam hidup ini, entah itu apa karena itu semua sudah digariskan oleh tuhan,  kita harus menerima cobaan ini dengan sabar dan tegar jangan menganggap semua cobaan ini tidak adil.  Itulah hidup sesulit apapun hidup akan terasa mudah dengan tersenyum, selalulah tersenyum dan menebar kebahagiaan kapan pun dan dimana pun berada.
Sepulang dari Rumah Sakit, hari itu terasa sangat berbeda, semua keadaan Lita berubah total, entah kenapa ia terlihat sangat bersemangat dan sering menebar senyum, ia dapat bernyanyi dan bercanda dengan bi Ijah. “detik ini aku bisa tertawa merasa paling bahagia, tapi apakah kebahagian ini hanya sesaat dan berganti menjadi tangis, hhheempp betapa bahagianya aku hari ini dan aku gak akan menyia-nyiakan kesempatan baik ini.” ujarnya. Kami sekeluarga sangat senang melihat keadaan Lita saat ini. Saat malam hari ditemani dengan dinginnya angin malam, Lita mengajak Zahra  bercerita.
“Kakak ke kamar yuk, aku mau cerita nih.” ajak Lita sambil menuju kamar Lita.
“Cerita apa sih dek?” tanya Zahra.
“Cerita temen sekolah kak, aku kangen deh sama temen-temen, pingin ketemu mereka lagi untuk yang  terakhir kalinya, aku kangen sama kelucuan Fauzi yanng suka marah–marah gak jelas, Rivai yang  suka ngelawak dan Dayla yang hobinya curhat mulu, sampai bosen aku dengernya hheee... kapan aku bisa bercanda, berkumpul dan bermain bersama mereka lagi? aku kangen saat-saat kumpul.” jawab Lita sambil melihat album foto-fotonya dengan sahabatnya
 aku gak ngerti dengan omongan zahra untuk yang terakhir kalinya.
“Sabar ya dek nanti kalo kamu udah sembuh nanti kita kumpul bareng lagi, ohya dapet salam tuh dek dari Fauzi dia kangen sama kegokilan kamu, di kelas sepi katanya gak ada kamu... cieee.” jawab Zahra seraya mengjak bercanda.
“Iiihhh apaan sih kak gak lucu deh.“ jawab Lita sambil tersenyum.
Tidak lama kemudian orangtua mereka masuk ke kamar Lita untuk mengucapkan selamat tidur secara bergantian mereka mencium kening Lita satu persatu dimulai dari mama, papa dan kak zahra. Lita memeluk mereka dengan erat seakan tidak mau kehilangannya.
“Mah, aku pasti rindu saat-saat seperti ini, aku ingin mama selalu ada disamping aku.” tanya Lita seraya memecahkan keheningan dan merasakan kehangatan pelukan mama.
“Husttt... kamu gak boleh ngomong kaya gitu lagi ya, karna mama dan yang lainnya selalu ada buat kamu.” jawab mama sambil meneteskan air mata.
“Selamat tidur ya sayang, mimpi indah.” ujar papa sambil menutup pintu kamar Lita dan mematikan lampu kamarnya.
Zahra pun langsung menuju kamar, saat menjelang tidur Zahra berfikir. ‘apapun akan aku lakukan demi keselamatan adiku.’ Tidak terasa sudah larut malam rasa kantuk pun tak tertahankan dengan diselimuti angin malam yang semilir yang menembus melalui celah-celah jendela kamar, Zahra pun terlelap tidur, tidak terasa ia sudah melewati malam dengan berulir mimpi indah dan saat terbangun dari tidurnya badannya terasa sangat segar.
            Pagi harinya mereka harus kembali ke Rumah Sakit Pertamina, Jakarta Selatan untuk kontrol keadaan Lita, baru sampai di ruang resepsionist tiba-tiba Lita jatuh pingsan, semua shock dan mengantarkan Lita ke ruang UGD. Dokter yang menangani Lita pun keluar.
           “Ibuuu Lita kritis, dia koma dan dia butuh pendonor sumsum tulang belakang.” ujar dokter.
“Terus apa dok yang bisa kami lakukan dok.” jawab mama dengn khawatir.
“Sekarang kalian ikut saya untuk periksa sumsum tulang belakang.” ajak dokter.
Dari semua yang ikut pemeriksaan ternyata hanya zahra yang cocok sumsum tulangnya dengan Lita.
“Apa kamu bersedia mendonorkan sumsum tulangmu untuk adikmu.” tanya dokter dengan lembut
 “Baik dok saya bersedia, semua akan ku lakukan demi adik.” jawab Zahra dengan suara yang terdengar lantang.
Semuanya pun berjalan dengan lancar, 2 hari kemudian Lita pun tersadar, mama langsung memeluk Lita dengan mata berkaca-kaca.
            “Akhirnya kamu sadar sayang.” Tanya mama seraya menahan butiran air mata.
“Memangnya aku kenapa mah?” jawab Lita bingung.
“Kamu baru saja melewati fase kritis sayang, kamu baru terbangun dari tidur panjangmu dan kamu baru saja operasi sumsum tulang belakang.” Ujar mama.
“Hah sumsum tulang mah? terus siapa mah yang udah donorin sumsum tulang ke aku.” Jawab Lita Kaget
“Kak zahra sayang... yaudah sayang kamu istirahat aja dulu.” Ujar mama.
“Sekarang dimana kak zahra mah aku ingin ketemu dia, telpon dia mah, suruh ke sini.” jawab Lita memaksa.
“Atas desakan Lita mama pun menyuruh zahra untuk ke Rumah Sakit.”
Zahra pun menuju Rumah Sakit atas keinginan adiknya saat perjalanan menuju   Rumah Sakit, hujan pun turun dengan derasnya tetapi itu semua tidak menyurutkan keinginan Zahra untuk bertemu adiknya, kabut asap karena derasnya hujan pun menghalangi pandangan Zahra. Tidak diduga mobil yang ditumpangi Zahra mengalami kecelakaan, Zahra pun dilarikan ke Rumah Sakit Pertamina, kebetulan Rumah Sakit itu tempat dimana adiknya dirawat. Orang yang membawa Zahra ke Rumah Sakit pun menelepon orangtua Zahra untuk memberitahukan keadaan anaknya yang sedang kritis saat itu. Orangtuanya pun terkejut mendengar berita itu, orangtuanya langsung mengajak Lita melihat keadaan kakaknya, Zahra pun sempat tersadarkan diri dan memberikan secarik kertas yang berisi surat kepada mamanya.
“mah, tolong jagain Lita iya, buat dia selalu tersenyum bahagia, jangan buat dia terus larut dalam kesedihan, aku titip ini untuk Lita dan sahabat aku.”
Orangtuanya pun tak bisa menahan isak tangis dan disitulah Zahra menghembuskan nafas terakhirnya. Zahra pun langsung dibawa ke rumah, orangtua Zahra langsung memberitahu kabar duka ini kesahabatnya. Keesokan harinya tepatnya siang hari Zahra langsung dimakamkan.
‘Delapan hari sebelum ulang tahun kakak, Allah telah memanggilnya, aku terkapar sendirian, jerit tangis akan menyelimuti kesendirianku setiap hari, Kini aku hanya bisa duduk diatas gundukan tanah merah yang masih basah, dan bertabur bunga warna-warni  serta terukir jelas nama Zazkia Azahra dibatu nisan.’ Ucap Lita seraya menangis.
Suara nyanyian angin yang berdansa dan daun-daun yang menari-nari menemani kesendirian Lita. ‘aku kehilangan sosok seorang kakak yang mampu membuat aku bertahan sampai sekarang, seorang kakak yang bisa menjadikan aku menggantungkan sebuah harapan, seorang kakak yang dapat dijadikan sahabat, sekarang gak ada lagi yang dapat menyemangtkan aku, gak ada lagi yang mendengarkan curhatanku, aku menyesal telah memaksa mama supaya mempertemukan aku dengan kak Zahra, dan aku belum sempat mengucapkan terima kasih karena kakak telah mendonorkan sumsum tulang ini ke aku, andai saja saat itu aku tidak menyuruh kakak untuk datang ke rumah sakit, pasti ini semua tidak akan terjadi, seharusnya aku yang lebih dulu dipanggil.’ Ucap Lita, Lita pun terus-terusan merasa bersalah karena dia fikir kecelakaan yang meninpa kakaknya karena kesalahan dirinya.
Tidak terasa delapan hari sudah Zahra meninggalkan mereka semua, hari itu begitu berati, malam itu mereka mengenang semua masa yang pernah mereka lewati bersama almarhum Zahra, masa indah yang penuh warna dan mereka tidak akan bisa mengulang kebahagiaan itu lagi, selamat tinggal Zahra. Hari itu tepat hari kelahiran Zahra, mereka pun mengundang sahabat-sahabat  Zahra karena mereka ingin membacakan isi surat yang Zahra titipkan ke orangtuanya. Saat itu sedang hujan, suara gemericik hujan selalu membuat hati tenang, butir-butir air yang menetes membuat ranting basah dan menciptakan aroma rerumputan yang khas, saat awan berubah menjadi kelabu goresan pelangi yang membentuk lengkungan dengan warna warni yang indah ditambah alunan piano yang dimainkan Lita berbunyi dengan merdunya membuat suasana menjadi lebih tenang. Disinilah orangtua Zahra membacakan isi pesan Zahra.
Isi suratnya

Assalamualaikum Wr.Wb.
Dengan sepucuk surat ini aku ingin mengungkapkan isi hati aku yang selama ini belum sempat kakak ungkapkan. Sebentar lagi usiaku bertambah, telah banyak pengalaman hidup ini yang aku lewati bersama kalian, telah banyak pelajaran hidup yang aku rajut bersama kalian. Aku ingin membahagiakan kalian tapi malah aku sering mengecewakan kalian. Buat mama dan papa jangan bersedih, aku rela melakukan semua ini demi kesembuhan Lita, semoga pengorbanan ku ini tidak sia-sia. Maafkan aku belum bisa membalas semua jasa mama dan papa yang telah membesarkan aku sampai saat ini. Buat adik, kakak ingin melihat adik sembuh, hari-hari yang indah kini telah berganti menjadi hari yang penuh duka semenjak adik terserang leukimia. Kakak gak bisa menahan kesedihan ini terus menerus.  Entah seberapa sering air mata ini jatuh menetes, kakak seakan gak bisa berbuat apa-apa, ingin rasanya penyakit leukimia itu berpindah saja ke tubuh kakak asalkan adik bisa sembuh. Kemarin kakak sudah mendonorkan sumsum tulang kakak, mudah-mudahan dengan cara ini adik bisa sembuh, kakak mau lihat adik tersenyum lagi, jangan buat kakak sedih lagi. Buat sahabat-sahabatku kalian adalah orang-orang yang sudah menjadi bagian dari hidupku, dengan hadirnya kalian hidupku jadi penuh warna, suka duka kita jalani bersama, pahit manisnya hidup pun kita rasakan bersama, aku ingin kalian menjadi sahabat-sahabatku, sampai akhir menutup mata  tak ada kata perpisahan sampai raga ini tak bernyawa, aku sayang kalian selamanya.
Setelah membaca surat itu Air mata pun tidak berhenti mengalir dari sudut mata mereka, mereka tidak menyangka ini semua terjadi begitu cepat, setelah orangtuanya membacakan surat dari Zahra, mereka pun menangis tersedu seiring dengan turunya hujan yang menyirami bumi,  seakan langit pun bersedih melepas kepergian Zahra. Akan tetapi waktu tidak akan bisa terulang kembali. Mereka tidak henti-hentinya meneteskan air mata seakan tidak dapat membendung kesedihan yang teramat dalam. Begitu cepat tuhan memanggil orang yang mereka sayangi. Zahra gadis cantik dan periang kini telah tiada, ia pergi untuk selama-lamanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar