Selasa, 24 Februari 2015

Hubungan Nilai Tukar Rupiah Dan Harga Barang Di Pasar

Masa-masa nilai tukar Rupiah lemah seperti sekarang biasanya dibarengi dengan kenaikan harga-harga barang di pasaran, mulai dari barang elektronik hingga sembako. Kenaikan harga barang-barang secara terus menerus dalam periode waktu tertentu, yang dikenal sebagai inflasi, memang berkaitan erat dengan nilai tukar. Hubungan keduanya ibarat perumpamaan ayam dan telur. Lebih dahulu mana, ayam, atau telur? Demikian juga, lebih dahulu mana, rupiah melemah, atau inflasi naik? 

Nilai Tukar Rupiah Yang Lemah Bisa Mendorong Inflasi

Ketika nilai tukar Rupiah lemah, harga-harga barang impor akan meningkat. Coba bayangkan, misalnya apel impor sebiji harganya 2 dollar. Dulu, dua dollar itu 20.000 rupiah, tapi karena Rupiah melemah jadi 10.000 per dollar, maka harga satu buah apel itu menjadi 22.000. Ini baru satu item barang. Padahal, Indonesia bukan cuma mengimpor apel, sebagian besar impor Indonesia adalah impor bahan baku.

Impor bahan baku, berarti kita mendatangkan bahan baku industri dari luar negeri. Bahan baku tersebut diolah lagi untuk menjadi produk siap pakai di Indonesia, seperti untuk produksi Tempe, kita masih impor Kedelai. Jika nilai rupiah melemah, otomatis biaya produksi berbahan baku Kedelai juga naik, dan implikasinya, harga Tempe dan olahan Kedelai seperti Tahu, Kecap, dan lain-lain pun meningkat.

Inflasi Naik, Nilai Tukar Melemah

Inflasi yang kelewat tinggi akan membuat biaya produksi barang di Indonesia tinggi juga. Akibatnya, produsen terpaksa meningkatkan harga barangnya. Kalau barang itu adalah barang ekspor, maka kenaikan harga bisa mengakibatkan permintaan terhadap barang tersebut dari luar negeri berkurang. Kenapa berkurang? Bisa jadi, ada negara lain yang bisa menawarkan barang yang sama dengan harga lebih rendah, sehingga mereka yang dulu membeli dari Indonesia pindah membeli ke negara lain. Bisa jadi juga, daya beli dari negara tersebut tidak memungkinkan mereka untuk membeli barang itu dengan jumlah yang sama. Kalau kita umpamakan apel yang tadi, ketika harganya 20.000 kita bisa membelinya setiap hari, tapi ketika naik 22.000, kita harus mengurangi konsumsi apel jadi dua hari sekali. Dengan demikian, permintaan kita terhadap apel berkurang.

Permintaan barang dari luar negeri yang berkurang akan mengakibatkan ekspor kita rendah. Jika ekspor kita rendah, sementara impor kita tinggi, maka kita akan mengalami defisit neraca perdagangan yang bisa berpengaruh negatif terhadap jumlah devisa kita, sekaligus membuat nilai tukar Rupiah melemah. Jika ekspor berkurang dan impor juga berkurang, maka volume perdagangan akan menurun, tetapi masih berada di keseimbangan tertentu. Ini bukan tidak mungkin. Katakanlah konsumsi apel impor kita berkurang, maka impor buah apel pun akan turun. Masalahnya, sebagian besar impor Indonesia berupa bahan baku yang penting untuk industri, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah, tak peduli harga barang impor mahal atau murah, Indonesia tetap impor.

Dari uraian diatas, bisa kita simpulkan bahwa kaitan antara nilai tukar dan inflasi terutama terjadi karena adanya impor dan ekspor. Di era globalisasi ini, tak ada satu negara pun yang bisa bertahan tanpa melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain, termasuk Indonesia. Baik ekspor maupun impor, keduanya tak terhindarkan. Kita tidak bisa melarang impor sama sekali maupun menghentikan ekspor tanpa alasan. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengendalikan ekspor dan impor agar mencapai titik keseimbangan tertentu.

Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai tukar Rupiah, diantaranya agar harga-harga barang di pasar lebih terkendali. Jangan sampai terjadi harga-harga melambung tinggi dan masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan bagi kita sebagai masyarakat awam, alangkah baiknya jika kita memprioritaskan konsumsi barang made in Indonesia daripada barang impor. Barang produksi dalam negeri toh seringkali berkualitas tak kalah dari produk impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar