PASAL 21
PPh pasal 21 adalah pasal yang mengatur pajak yang dikenakan
terhadap penghasilan yang diterima dari pekerjaan / jasa baik dalam hubungan
kerja maupun dari pekerjaan bebas oleh WP perorangan dalam negeri.
Yang termasuk objek pajak PPh Pasal 21 adalah :
a.
Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai
tidak tetap, pemagang dan calon pegawai
serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan
sejenis
b.
Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau
penghargaan, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa
dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang
diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan; mantan pegawai yang menerima
jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus; peserta program pensiun yang
menarik dananya pada dana pensiun; dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17
Undang-undang PPh dikalikan dengan penghasilan bruto
c.
Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan
tarif PPh Psl 17 x 50% dari perkiraan penghasilan bruto – PTKP perbulan
d.
Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan
calon pegawai, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian,
upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang besarnya
melebihi Rp.150.000 sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya
tidak melebihi Rp. 1.320.000,- dan atau tidak di bayarkan secara bulanan
e. Penerima pesangon,
tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
- 5% dari
penghasilan bruto diatas Rp 25.000.000 s.d. Rp. 50.000.000.
- 10%
dari penghasilan bruto diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 100.000.000.
- 15%
dari penghasilan bruto diatas Rp. 100.000.000 s.d.Rp. 200.000.000.
- 25%
dari penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000.
f. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima
honorarium dan imbalan lain yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara
atau Keuangan Daerah.
Sebelum melakukan Pemotongan Pajak PPh Pasal 21, maka Pemotong
Pajak harus terdaftar sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 terlebih dahulu
di Kantor Pelayanan Pajak.
Untuk mengetahui apakah Wajib Pajak mempunyai kewajiban sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar yang diterima dari Kantor Pelayanan Pajak pada saat pendaftaran NPWP. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 mempunyai kewajiban menyetor PPh Pasal 21 ke Bank Persepsi atau kantor Pos dan melaporkan Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak.
Untuk mengetahui apakah Wajib Pajak mempunyai kewajiban sebagai Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dapat dilihat pada Surat Keterangan Terdaftar yang diterima dari Kantor Pelayanan Pajak pada saat pendaftaran NPWP. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 mempunyai kewajiban menyetor PPh Pasal 21 ke Bank Persepsi atau kantor Pos dan melaporkan Pemotongan Pajak PPh Pasal 21 tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak.
PASAL 22
PPh pasal 22 membahas tentang penghasilan yang berasal dari
penjualan pada instansi pemerintah, impor, dan industri tertentu (industri
rokok, industri kertas, industri otomotif, industri semen, industri baja,
Pertamina Bulog untuk tepung terigu dan gula pasir).
Tarif PPh
pasal 22 atas penjualan instansi pemerintah :
PPh pasal
22 bendaharawan = 1,5% x nilai penjualan
Tarif PPh
pasal 22 atas impor :
Bila importir
memiliki API (Angka Pengenal Impor)
PPh pasal
22 impor = 2,5% x nilai impor
Bila
importir tidak memiliki API
PPh pasal
22 impor = 7,5% x nilai impor
Tata Cara
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 atas impor barang (angka II butir 1) disetor oleh
importir dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Cukai dan Pabean
(SSPCP).PPh Pasal 22 atas impor barang yang dipungut oleh DJBC harus disetor ke
Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro dalam jangka waktu 1(satu) hari setelah
pemu-ngutan pajak dan dilaporkan ke KPP secara mingguan paling lambat 7 (tujuh)
hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir. PPh Pasal 22 atas pembelian
barang (angka II butir 2 dan 3) disetor oleh pemungut atas nama dan NPWP Wajib
Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro secara kolektif pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang. Pemungut menerbitkan
bukti pungutan rangkap tiga, yaitu:
- lembar
pertama untuk pembeli;
- lembar
kedua sebagai lampiran laporan bulanan ke Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar
ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan, dan dilaporkan ke KPP
paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa pajak berakhir.
PPh Pasal 22 atas pembelian barang (angka II butir 4) disetor
oleh pemungut atas nama Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro
paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan menggunakan
formulir SSP dan menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah masa pajak berakhir.
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5
dan 7) disetor oleh pemungut atas nama wajib pajak ke Bank Persepsi atau Kantor
Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwim berikutnya dengan
menggunakan formulir SSP. Pemungut menyampaikan SPT Masa ke KPP paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
PPh Pasal 22 atas penjualan hasil produksi (angka II butir6)
disetor sendiri oleh Wajib Pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro
sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (delivery order) ditebus dengan
menggunakan SSP. Pemungut wajib menerbitkan bukti pemungutan PPh Ps. 22 rangkap
3 yaitu:
- lembar
pertama untuk pembeli;
- lembar
kedua sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak;
- lembar
ketiga untuk arsip Pemungut Pajak yang bersangkutan.
Pelaporan
dilakukan dengan cara menyampaikan SPT Masa ke KPP setempat paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Saat
Terutang dan Pelunasan/Pemungutan PPh Pasal 22
Atas impor barang terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan,
maka PPh Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
Atas pembelian barang (angka II butir 2,3, dan 4) terutang dan
dipungut pada saat pembayaran;
Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 5) terutang dan
dipungut pada saat penjualan;
Atas penjualan hasil produksi (angka II butir 6) dipungut pada
saat penerbitan Surat Perintah Pengeluaran Barang (Delivery Order);
Atas pembelian bahan-bahan (angka II butir 7) terutang dan
dipungut pada saat pembelian.
Pengecualian
Pemungutan PPh Pasal 22
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan
Surat Keterangan Bebas (SKB).
Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai; dilaksanakan oleh DJBC.
Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan
untuk diekspor kembali, dan dilaksanakan oleh Dirjen BC.
Pembayaran
atas pembelian barang oleh pemerintah yang jumlahnya paling banyak Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah.
Pembayaran
untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, benda-benda
pos.
Emas
batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
Pembayaran/pencairan
dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
Impor kembali
(re-impor) yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh DJBC.
Pembayaran
untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog
PASAL 23
PPh pasal 23 membahas tentang penghasilan yang diperoleh dari
penggunaan harta atau modal (deviden, bunga, royalti, hadiah penghargaan, sewa,
dan jasa).
Deviden,
royalti, bunga, hadiah penghargaan
PPh pasal
23 = 15% x penghasilan bruto
Sewa dan
jasa
PPh pasal
23 = 2% x penghasilan bruto
Pemotong
dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23
Pemotong
PPh Pasal 23:
badan pemerintah;
Wajib
Pajak badan dalam negeri;
penyelenggaraan
kegiatan;
bentuk
usaha tetap (BUT);
perwakilan
perusahaan luar negeri lainnya;
Wajib
Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Penerima
penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
WP dalam
negeri;
BUT
Tarif dan
Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari
jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai
Saat
Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23
PPh Pasal
23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan
terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
PPh Pasal
23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
Dalam
ketentuan baru Undang-undang Pajak Penghasilan, struktur tarifnya adalah
sebagai berikut :
Tarif 15%
x Penghasilan Bruto dan bersifat tidak final dikenakan terhadap penghasilan
berupa dividen, bunga, royalti dan hadiah, penghargaan dan bonus selain yang
sudah dipotong PPh Pasal 21.
Dihapus
sebesar
2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang
telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar