Makna Audit Forensik
Audit forensik merupakan audit gabungan keahlian yang mencakup keahlian akuntansi, auditing maupun bidang hukum/perundangan dengan harapan bahwa hasil audit tersebut akan dapat digunakan untuk mendukung proses hukum di pengadilan maupun kebutuhan hukum lainnya. Audit forensik dilakukan dalam rangka untuk memberikan dukungan keahlian dalam proses legal pemberian keterangan ahli dalam proses litigasi/litigation. Audit forensik yang sebelumnya dikenal dengan akuntansi forensik mengandung makna antara lain “yang berkenaan dengan pengadilan”. Selain itu, juga sesuatu yang berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada permasalahan hukum.
Menurut Editor
in chief dari Journal of Forensic Accounting D. Larry Crumbley bahwa “secara
sederhana dapat dikatakan, bahwa akuntansi forensik adalah akuntansi yang
akurat untuk tujuan hukum, artinya akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah
perseteruan selama proses pengadilan atau proses peninjauan judisial atau
administratif”. Secara makro cakupan audit forensik meliputi investigasi
kriminal, bantuan dalam konteks perselisihan pemegang saham, masalah gangguan
usaha (business interupstions)/jenis lain dan klaim assuransi, maupun business/employee
fraud investigation.
Berkaitan dengan
istilah fraud dalam judul tersebut dapat dimaknai sebagai serangkaian
kata perbuatan yang melawan hukum/illegal acts yang dilakukan dengan
sengaja dan merugikan pihak lain. Perbuatan yang merugikan tersebut antara lain
bisa berbentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), kecurangan, penyelewengan,
pencurian, penyogokan, manipulasi, penggelapan, penjarahan, penipuan,
penyelundupan, salah saji. Perbuatan tersebut secara keseluruhan merupakan
perbuatan yang menyimpang etika dan kepatutan/abuse.
Audit investigasi-forensik
Audit
investigasi/forensik dapat merupakan pengembangan lebih lanjut atas hasil audit
operasional, audit kinerja yang memuat adanya indikasi KKN dengan konsekuensi
terjadinya kerugian keuangan negara, namun demikian audit investigasi dapat
juga didasarkan indikasi kerugian yang tertayang sebagai berita dalam media
massa maupun dalam laporan atau pengaduan masyarakat. Meskipun merupakan audit
yang bersifat khusus, namun demikian teknologi atau metodologi auditnya dapat
menggunakan teknik audit secara umum sesuai dengan standar audit yang berlaku
dengan menggunakan teknik audit yang sifatnya eksploratif melalui (i) Pengujian
terhadap fisik/physical examination yang meliputi penghitungan uang tunai,
kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap dan barang berwujud lainnya, (ii)Meminta
konfirmasi /confirmation dalam investigasi bahwa tindakan konfirmasi
harus dikolaborasi-padukan dengan sumber lain/substained, (iii) Mengaudit
dokumen atau buril /documentation termasuk dokumen digital,
electrical dan lainnya.
Teknik audit
selanjutnya adalah (iv) Reviu yang sifatnya analitis/analytical review yaitu
teknik menjawab terjadinya kesenjangan atas perbandingan yang dihadapi dengan
apa yang layaknya harus terjadi, (v) Meminta informasi lisan atau tertulis dari
pihak yang diaudit/inquiry of the auditee untuk mendukung masalah,
(vi) Menghitung kembali/reperformance yang mana penggunaan teknik ini
dilakukan dengan menguji kebenaran perhitungan (perkalian, pembagian,
penambahan, pengurangan) dalam rangka memberikan jaminan atas kebenaran secara
aritmatikal, (vii) Mengamati/observation ini lebih menggunakan intuisi
auditor terhadap kemungkinan adanya hal-hal yang disembunyikan.
Theodorus M.
Tuanakotta menyampaikan beberapa kondisi yang bisa
mengidentifikasikan risiko terjadinya kecurangan yaitu lemahnya
manajemen yang tidak bisa menerapkan pengendalian intern yang ada atau tidak
bisa mengawasi proses pengendalian; Pemisahan tugas yang tidak jelas, terutama
yang berkaitan dengan tugas-tugas pengendalian dan pengamanan sumberdaya;
Transaksi-transaksi yang tidak lazim dan tanpa penjelasan yang memuaskan;
Kasus dimana pegawai cenderung menolak liburan atau menolak promosi;
Dokumen-dokumennya hilang atau tidak jelas, atau manajemen selalu menunda
memberikan informasi tanpa alasan yang jelas; Informasi yang salah atau
membingungkan, dan pengalaman audit atau investigasi yang lalu dengan temuan
mengenai kegiatan-kegiatan yang perlu dipertanyakan atau bersifat kriminal.
Seperti telah
disinggung dalam uraian tersebut bahwa audit ini tidak sama dengan pelaksanaan
audit secara umum, audit forensik lebih menekankan pada hal-hal atau tindakan
yang diluar kewajaran atau diluar kebiasaan maupun yang seringkali dikatakan
pengecualian maupun keanehan (exception, addities, irregularities) dan
pola tindakan (pattern of conduct) daripada hal-hal yang sifatnya normatif
yaitu kesalahan (error) dan keteledoran (ommisions) seperti audit
umumnya. Dapat dikatakan bahwa audit forensik merupakan suatu metodologi
dan pendekatan khusus dalam menilisik kecurangan (fraud), atau audit yang
bertujuan untuk membuktikan ada atau tidaknya fraudyang dapat digunakan
dalam proses litigasi.
Upaya penajaman
atas permasalahan dari audit investigasi melalui teknologi forensik,
terutama untuk menguji bahan bukti audit yang bersifat khusus utamanya
yang ditujukan untuk mengungkap kasus-kasus atau kecurangan maupun
penyimpangan-penyimpangan yang memiliki indikasi merugikan keuangan Negara,
modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, peraturan perundangan yang
dikangkangi, kapan terjadinya kejadian, lokus kejadian, kerugian yang
ditimbulkan, dan alat bukti perkara sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP
berupa keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat, petunjuk, maupun
keterangan terdakwa. Tentunya runtutan kejadian perkara tersebut harus
dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan (BAPK) dari pihak yang
terkait dengan kejadian perkara dimaksud.
Dalam audit
forensik ini secara normatif auditor dibebani tuntutan untuk dapat memperoleh
bukti dan alat bukti yang dapat mengungkap adanya tindak pidanafraud. Selain
itu, alat bukti hasil audit forensik dimaksud untuk digunakan oleh aparat
penegak hukum (APH) untuk dikembangkan menjadi alat bukti yang sesuai
dengan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) seperti tersebut pada uraian diatas dalam rangka mendukung
litigasi peradilan. Alat bukti yang cukup dikembangkan tersebut selanjutnya
dilakukan analisis yang merupakan tanggungjawab auditor dalam upaya pembuktian
sampai menemukan alat bukti sesuai ketentuan, sedangkan penetapan terjadinyafraud maupun
salah tidaknya seseorang merupakan wewenang APH, dalam hal ini alat bukti dan
keyakinan hakim pengadilan.